Ketika Nama Kakek Diabadikan Menjadi Simpang Leto di Pagar Jawa, Kabupaten Simalungun

Tidak ingat lagi kapan terakhir ziarah ke makam kakek, nenek serta kakek  buyut yang dimakamkan di desa Nagori Marubun Jaya, Kecamatan Pagar Jawa, Kabupaten Simalungun. Cheng Beng (istilah ziarah ke makam bagi orang Tionghua kebanyakan) tahun 2017 ada kesempatan dan memang berkeinginan untuk ikut berkumpul dengan keluarga dan kerabat yang melakukan itu. Ritual Cheng Beng selain memberikan penghormatan di Makam leluhur, juga merupakan kesempatan untuk berkumpul keluarga, terutama keluarga yang menetap di kota berbeda. Dengan kata lain sebagai sarana bersilahturahmi. Saya berusaha dan punya niat untuk merealisasikan ziarah tahun ini.

Sebelum tiba di makam kakek, sebelum sampai ke pekan / Kota Pagar Jawa, ada simpang jalan yang ada jalan masuk ke kiri. Ada papan nama yang tertulis “Simp Leto”. Selama puluhan tahun, masyarakat disana mengenal lokasi itu namanya simpang Leto. Tentu saja belum ada yang mencatat sejarah asal usul nama tersebut berasal. Namun masyarakat disana tahu bahwa ada makam Leto didalam kempleks pemakaman masyarakat Tionghua di Pagar Jawa. Bila sekarang kita melihatnya mungkin sedikit agak aneh, karena hampir tidak ada lagi komunitas Tionghua yang tinggal di Pagar Jawa.

Gerbang Selamat Datang ada Nama Simp – Leto

Saya berhenti sejenak di simpang jalan besar yang dinamakan “Simp Leto” itu, tergerak hati untuk mengabadikan nama jalan sekaligus. Disudut simpang ada yang buka kedai makanan. Bertemu dengan pemiliknya yang lagi kebetulan sedang mau membuka toko dipagi hari menjelang siang. Asalnya dari kota Yogya, sudah tinggal disitu sekitar 6 tahun. Melakukan usaha apa saja dalam menghidupi keluarganya dan sudah merantau keman-mana. Menurut ceritanya dulu tokonya “Leto” adalah tempat dimana dia tinggal dan berusaha sekarang. Saya bisa merasakan denyut toko kakek dikala itu.

Perjalanan hidup Leto,  yang nama aslinya Kie Lai Tao ketika berada di Pagar Jawa itu sekitar tahun 1938 dan disekitar tahun itu juga memperistrikan seorang wanita peranakan Jawa setelah kembali dari Tiongkok daratan. Sebelumnya sudah punya istri dari sana dan istrinya pernah diantar pulang yang tidak ada yang mengetahui apa sebabnya. Dan di Pagar Jawa jugalah kemudian melahirkan keturunannya sampai tahun 60an. Termasuk ibu saya yang lahir di than 1942. Sejatinya Leto berasal dari Tiongkok dan punya anak istri disana. Tidak banyak yang mengetahui sejarah itu, para pelaku sejarah sendiri sudah banyak yang meningal.

Di Pagar Jawa saat itu banyak bermukim orang Tionghua, baik yang bertani, berkebun, tukang maupun yang buka toko. Peninggalan sejarahnya yang tertinggal adalah tanah perkuburan yang masih ada sisa batu nisan dan satu kelenteng yang merah berdiri dan sudah pernah dipagar ditahun 80an. Sejak adanya larangan masyarakat Tionghua tinggal dan berusaha di desa pada jaman tahun 60 an, memaksa mereka harus migrasi ke kota terdekat, seperti kota Pematang Siantar, Tebing Tingi, Medan, dll. Sehingga sejak jaman itulah sampai sekarang, daerah simpang Leto menjadi sepi dari urat nadi kehidupan perdagangan. Tidak ada tampak perkembangan yang signifikan dari jaman dulu sampai sekarang. Aktivitas penduduk sekitar masih di perkebunan, pertanian dn ternak ikan

Kelenteng Fuk Tek Khong

Salah satu peninggalan sejarh masyarakat Tionghua di Pagar Jawa adalah kelenteng Fuk Tek Khong. Orang – orang lokal menyebutnya pekong, tempat sembahyang orang Tionghua yang penganut Khong Hu Cu dan Buddha pada umumnya. Kelenteng ini berdampingan dengan perkuburan dan secara umum saat ini sudah kurang terawat. Demikian juga dengan kuburan – kuburan lama yang sudah tidak dikunjungi keturunannya lagi.

Ruang Utama Klenteng Fuk Tek Khong

Foto – Foto Peresmian Klenteng

Ketika bertanya dengan Toni, salah satu paman yang ditunjuk kakek Leto untuk mengurusi kelenteng, bahwa kelenteng ini sudah ada sejak 150 tahun yang lalu dan baru mulai direnovasi sekitar tahun 80an. Karena masyarakat Tionghua sudah hampir tidak ada di Pagar Jawa, maka kelenteng ini sudah jarang dikunjungi. Pada hari-hari besar tertentu baru kelenteng ini dibuka. Masih butuh perbaikan, bila ada yang terkumpul, ujar Toni yang nama kerennya Busuk (jaman dulu nama panggilan ini tidak ada yang aneh).

Altar Sembahyang

Guratan dan catatan sejarah yang sulit diperoleh, karena tidak ada dokumentasi ataupun ada pihak yang punya dokumentasi atau catatan.

Cheng Beng Bagian Dari Wisata Spiritual

Mengunjungi makam leluhur yang biasa disebut masyarakat Tionghua Indonesia bukanlah hanya ritual sembahyang semata. Tapi merupakan wujud bakti anak terhadap orang tua atau terhadap leluhurnya. Sebagian mempercayainya sebagai berbalas budi kepada leluhur. Sehingga disaat Cheng Beng akan ada berbagai jenis makanan, kue, buah – buahan dan lain – lain yang disajikan didepan makam dan juga pembakaran kertas sembahyang serta barang kebutuhan sehari – hari yang terbuat dari kertas.

Selain proses yang dilakukan di makam leluhur, tidak kalah pentingnya juga berkumpul keluarga. Karena dihari yang penting ini, banyak yang rela melepaskan pekerjaan dan aktvitasnya sehari – hari untuk pulang kampung.

Kuburan Yang Tidak Ada Yang Mengurusnya Lagi

Tidak Ada Yang Datang

Masih Ada Keturunannya Yang Ziarah

Sehingga momen ini juga digunakan menjadi ajang reuni SD – SMA mantan sekolah – sekolah yang ada di daerah masing – masing. Inilah waktu yang dianggap cocok untuk mengumpulkan semua teman – teman dijaman dulu. Sehingga hotel maupun tempat makan akan selalu dipadati pengunjung. Hotel dan tiket pesawat dari Jakarta ke Medan sudah penuh pada tanggal-tanggal tertentu.

2 Comments
  1. Romo Farano says

    Luar biasa.. jarang ada leluhur yang dibadikan sehingga demikian. Kasihan pula beberapa kuburan yang tak terawat lagi. Thanks, sharingnya.. jadi pingin nge-blog lagi…

  2. Petrus loo says

    Makasih bang

Leave A Reply

Your email address will not be published.

Skip to toolbar